A.
Kedudukan dan Peranan Ijtihad
hakim agama dalam konteks Undang-Undang
عن عمر بن العا ص انّه سَمِعَ رسو ل الله صلّى الله
عليه وسلّم يَقُو لُ (اِذَا حَكَمَ الْحَا كِمُ فَا جْتَهَدَ ثُمَّ اَ صَا بَ
فَلَهُ اَصَا بَ فَلَهُ اَ جْرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ فَا جْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَاَ
فَلَهُ اَجْرٌ) متفق عليه
“Dari Amr bin Ash bahwasanya ia
dengar Rasulullah saw bersabda :apabila seorang hakim menghukum dengan
ijtihadnya dan setuju dngan kebenaran maka ia mendapat dua ganjaran :dan
apabila ia menghukum dengan ijtihadnya tetapi ia keliru maka ia mendapat satu
ganjaran”
Pasal
10
(1)
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara
perdamaian.
.
Apabila seseorang hakim berijtihad dg ikhlas lalu
menghukum maka jika hukumannya itu benar pandangan Allah dan RasulNya ia dpt
2ganjaran yaitu ganjaran menghukum dan ganjaran berijtihad tetapi jika
terkeliru ia dpd hukum yg sebenarnya ia dpt 1 ganjaran sahaja yaitu ganjaran
berijtihad.
Penemuan hukum merupakan kegiatan terutama dari hakim
dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit, dimana dalam
kegiatan tersebut (penemuan hukum) dibutuhkan adanya suatu metode (langkah)
yang nantinya dapat dipergunakan oleh penegak hukum (hakim) dalam memberikan
keputusan terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi, yang dipahami bahwa
aturan hukum (UU) dalam peristiwa tersebut tidak jelas atau bahkan belum diatur
sama sekali.
Dalam hal inilah ijtihad hakim sangat berperan, karena jika tida terdapat penyelesaian hukum maka masalah akan tetap berlarut-larut tanpa penyelesaian. Sebagaimana yang ditentukan dalam Unadng-Undang No. 19 Tahun 1964, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 1970, tentang Ketentua-ketentuan pokok KekuasaanKehakiman.
Hakim memiliki hak muthlak untuk memutuskan suatu perkara. Jika perkara itu bisa diputuskan melalui UU yang sudah ada, kemudian jika suatu perkara itu tidak ada dan tidak dapat diputuskan karena dalam Undang-undang belum membahasnya tentang perkara tersebut, maka jalan yang ditempuh dan yang dilakukan oleh hakim adalahijtihad.
Penempatan ijtihad sebagai sumber hukum sangatlah urgen, karena kalau kita lihat permasalahn yang terjadi di masyarakat luas sangatlah kompleks. Dengan adanya ijtihad, maka permasalahan itu dapat diselesaikan dengan baik yang sesuai dengan koredor Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Seorang hakim juga dituntut memiliki kapasitas dan kapabilitas intelektual yang, terutama sekali, dibutuhkan dalam lapangan ijtihad. Secara umum dipahami bahwa ijtihad merupakan usaha pengerahan pikiran secara optimal dari orang yang memiliki kompetensi untuk itu dalam menemukan suatu kebenaran dari sumbernya dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Khususnya dalam bidang fikih, ijtihad diartikan sebagai usaha pikiran secara optimal dari ahlinya, baik dalam menyimpulkan hukum fikih dari al-Quran dan Sunnah maupun dalam penerapannya. Dari definisi tersebut terlihat bahwa dalam lapangan fikih terdapat dua bentuk ijtihad, yaitu ijtihad untuk menyimpulkan hukum dari sumbernya dan ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad dalam bentuk pertama disebut ijtihad istinbathi, sedangkan dalam bentuk kedua disebut ijtihad tathbiqi. Lapangan ijtihad istinbathi adalah al-Quran dan Sunnah yang dijadikan sumber oleh para hakim dan juris Islam lainnya dalam membuat rumusan hukum. Pada periode awal Islam ijtihad seperti ini diperlukan, disamping ijtihad tathbiqi, dan merupakan persyaratan bagi seseorang yang akan diangkat menjadi hakim. Dalam era modern, bahkan post-modern ini, ijtihad istinbathi tidak banyak terkait dengan tugas para hakim. Hal ini disebabkan karena aturan-aturan hukum telah terkodifikasi secara baik dalam kitab-kitab fikih dan kompilasi hukum Islam, seperti kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Meski demikian, hal tersebut tidak menafikan pentingnya kapasitas dan kapabilitas intelektuan seorang hakim. Kemampuan intelektual seorang hakim untuk masa sekarang lebih banyak tercurah pada ijtihad tathbiqi. Lapangan ijtihad ini adalah tempat penerapan hukum, yaitu manusia dengan segala ihwalnya yang selalu berubah dan berkembang. Seiring dengan perkembangan manusia, ijtihad tathbiqi tidak pernah terputus selama umat Islam bertekad untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Untuk itu ijtihad tathbiqi berkaitan erat dengan tugas para hakim, karena peran hakim sebagai penegak hukum tidak cukup hanya dengan penguasaan (materi) hukum belaka, tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menerapkannya secara benar dan proporsional.
Dalam hal inilah ijtihad hakim sangat berperan, karena jika tida terdapat penyelesaian hukum maka masalah akan tetap berlarut-larut tanpa penyelesaian. Sebagaimana yang ditentukan dalam Unadng-Undang No. 19 Tahun 1964, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 1970, tentang Ketentua-ketentuan pokok KekuasaanKehakiman.
Hakim memiliki hak muthlak untuk memutuskan suatu perkara. Jika perkara itu bisa diputuskan melalui UU yang sudah ada, kemudian jika suatu perkara itu tidak ada dan tidak dapat diputuskan karena dalam Undang-undang belum membahasnya tentang perkara tersebut, maka jalan yang ditempuh dan yang dilakukan oleh hakim adalahijtihad.
Penempatan ijtihad sebagai sumber hukum sangatlah urgen, karena kalau kita lihat permasalahn yang terjadi di masyarakat luas sangatlah kompleks. Dengan adanya ijtihad, maka permasalahan itu dapat diselesaikan dengan baik yang sesuai dengan koredor Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Seorang hakim juga dituntut memiliki kapasitas dan kapabilitas intelektual yang, terutama sekali, dibutuhkan dalam lapangan ijtihad. Secara umum dipahami bahwa ijtihad merupakan usaha pengerahan pikiran secara optimal dari orang yang memiliki kompetensi untuk itu dalam menemukan suatu kebenaran dari sumbernya dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Khususnya dalam bidang fikih, ijtihad diartikan sebagai usaha pikiran secara optimal dari ahlinya, baik dalam menyimpulkan hukum fikih dari al-Quran dan Sunnah maupun dalam penerapannya. Dari definisi tersebut terlihat bahwa dalam lapangan fikih terdapat dua bentuk ijtihad, yaitu ijtihad untuk menyimpulkan hukum dari sumbernya dan ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad dalam bentuk pertama disebut ijtihad istinbathi, sedangkan dalam bentuk kedua disebut ijtihad tathbiqi. Lapangan ijtihad istinbathi adalah al-Quran dan Sunnah yang dijadikan sumber oleh para hakim dan juris Islam lainnya dalam membuat rumusan hukum. Pada periode awal Islam ijtihad seperti ini diperlukan, disamping ijtihad tathbiqi, dan merupakan persyaratan bagi seseorang yang akan diangkat menjadi hakim. Dalam era modern, bahkan post-modern ini, ijtihad istinbathi tidak banyak terkait dengan tugas para hakim. Hal ini disebabkan karena aturan-aturan hukum telah terkodifikasi secara baik dalam kitab-kitab fikih dan kompilasi hukum Islam, seperti kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Meski demikian, hal tersebut tidak menafikan pentingnya kapasitas dan kapabilitas intelektuan seorang hakim. Kemampuan intelektual seorang hakim untuk masa sekarang lebih banyak tercurah pada ijtihad tathbiqi. Lapangan ijtihad ini adalah tempat penerapan hukum, yaitu manusia dengan segala ihwalnya yang selalu berubah dan berkembang. Seiring dengan perkembangan manusia, ijtihad tathbiqi tidak pernah terputus selama umat Islam bertekad untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Untuk itu ijtihad tathbiqi berkaitan erat dengan tugas para hakim, karena peran hakim sebagai penegak hukum tidak cukup hanya dengan penguasaan (materi) hukum belaka, tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menerapkannya secara benar dan proporsional.
- Metode ijtihad hakim
agama dalam konteks UU
Di samping Peraturan perundang-undangan yang memiliki kelebihan dan
kebaikan, akan tetapi peraturan perundang-undangan juga mempunyai kelemahan
atau kekurangan antara lain:
Sebagai buatan manusia,peraturan perundang-undangan tidak pernah
lengkap.Deskripsi-deskripsi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan
pada umumnya pada umumnya mencerminkan keadaan,pandangan, keinginan pada saat
pembuatanya. Sebagai
bentuk hokum tertulis, peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Kadang-kadang
rumusam peraturan perundang-undangan tidak jelas.
Hal-hal
di atas merupakn tangtangan bagi hakim agama yang di satu pihak harus
menerapkan peraturan perundang-undangan, akan tetapi di pihak lain kalau
penerapan tersebut tidak sesuai dengan fakta, keadaan bahkan tujuan hokum maka
akan menimbulkan ketidak pastian dan ketidakadilan. Untuk memungkinkan
peraturan perundang-undangan terterap sebagai mana mestinya,hamper swluruh
hakim harus melakukan penafsiaran dan berijtuhad.
Terdapat
berbagai cara atau metode metode yang harus di gunakan hakim agama dalam
berijtihad atau melakukan penafsiran:
Penafsiran otentik atau
penafsiran resmi
penafsiran yang di buat oleh pembentuk
peraturan perundang-undangan yang di lengkapi penafsiran resmi, yatu UU dan
peraturan pemerintah.karena merupakan maksud dan kehendak pembuat
Undang-undang, ada pendapat yang menyataakan bahwa penafsiran resmi menempati
urutan yang pertama dalam metode penafsiran.sudah sewajarnya hakim harus
pertama-tama harus melihat kehendak, maksud, dan arti yang di berikan pembuat
peraturan perundang-undangan
Penafsiran Gramatika (tata
bahasa)
yaitu penafsiran yang menggunakan ilmu tata
bahasa sebagai cara untuk menemukan arti,kehendak dan maksud suatu peraturan
perundang-undangan. Tata bahasa disini baik dalam
ilmu kata-kata maupun kalimat. Bahasa sebagai mana kehidupan bersifat dinamis
barubah dari waktu ke waktu arti kata dapat berubah sesuai dengan keadaan
Penafsiran menurut sejarah(historis)
yaitu penafsiran historis erat kaitannya dengan penafsiran otentik.
Persamaanya, penafsiran tersebuat sama-sama menengok ke belakang yaitu saat
peraturan perundang-undangan terbentuk. Perbedaanya adalah penafsiran otentik
hanya terbatas pada pengertian, maksud dan kehendak yang tertuang di dalam
peraturan perundang-undangan. Sedangkan penafsiran historis melihat juga latar
belakang pandangan-pandangan yang di sampaikan pada saat pembuatan peraturan
perundang-undangan
Penafsiran sosiologis
yaitu
penafsiran yang berangkat dari pemikiran bahwa peraturan perundang-undangan
tidak di maksudkan untuk mengatur masa lampau. peraturan perundang-undangan di
buat untuk mengatur dan memecahkan masalah hokum di masa yang akan datang.
Karena itu peraturan perundang-undangan harus di artikan sesuai dengan
kebutuhan dan perubahan-perubahan social,ekonomi,budaya maupun
politik.kenyataan yang hidup dalam masyarakat merupakan sumber penafsiran
social
Tidak ada komentar:
Posting Komentar