Sabtu, 02 Juni 2012


A.    Kedudukan dan Peranan Ijtihad hakim agama dalam konteks Undang-Undang
           

عن عمر بن العا ص انّه سَمِعَ رسو ل الله صلّى الله عليه وسلّم يَقُو لُ (اِذَا حَكَمَ الْحَا كِمُ فَا جْتَهَدَ ثُمَّ اَ صَا بَ فَلَهُ اَصَا بَ فَلَهُ اَ جْرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ فَا جْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَاَ فَلَهُ اَجْرٌ) متفق عليه   
“Dari Amr bin Ash bahwasanya ia dengar Rasulullah saw bersabda :apabila seorang hakim menghukum dengan ijtihadnya dan setuju dngan kebenaran maka ia mendapat dua ganjaran :dan apabila ia menghukum dengan ijtihadnya tetapi ia keliru maka ia mendapat satu ganjaran”
Pasal 10
(1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara
perdamaian.
.
Apabila seseorang hakim berijtihad dg ikhlas lalu menghukum maka jika hukumannya itu benar pandangan Allah dan RasulNya ia dpt 2ganjaran yaitu ganjaran menghukum dan ganjaran berijtihad tetapi jika terkeliru ia dpd hukum yg sebenarnya ia dpt 1 ganjaran sahaja yaitu ganjaran berijtihad.
Penemuan hukum merupakan kegiatan terutama dari hakim dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit, dimana dalam kegiatan tersebut (penemuan hukum) dibutuhkan adanya suatu metode (langkah) yang nantinya dapat dipergunakan oleh penegak hukum (hakim) dalam memberikan keputusan terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi, yang dipahami bahwa aturan hukum (UU) dalam peristiwa tersebut tidak jelas atau bahkan belum diatur sama sekali.
           
Dalam hal inilah ijtihad hakim sangat berperan, karena jika tida terdapat penyelesaian hukum maka masalah akan tetap berlarut-larut tanpa penyelesaian. Sebagaimana yang ditentukan dalam Unadng-Undang No. 19 Tahun 1964, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 1970, tentang Ketentua-ketentuan pokok KekuasaanKehakiman.
          Hakim memiliki hak muthlak untuk memutuskan suatu perkara. Jika perkara itu bisa diputuskan melalui UU yang sudah ada, kemudian jika suatu perkara itu tidak ada dan tidak dapat diputuskan karena dalam Undang-undang belum membahasnya tentang perkara tersebut, maka jalan yang ditempuh dan yang dilakukan oleh hakim adalahijtihad.
            Penempatan ijtihad sebagai sumber hukum sangatlah urgen, karena kalau kita lihat permasalahn yang terjadi di masyarakat luas sangatlah kompleks. Dengan adanya ijtihad, maka permasalahan itu dapat diselesaikan dengan baik yang sesuai dengan koredor Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Seorang hakim juga dituntut memiliki kapasitas dan kapabilitas intelektual yang, terutama sekali, dibutuhkan dalam lapangan ijtihad. Secara umum dipahami bahwa ijtihad merupakan usaha pengerahan pikiran secara optimal dari orang yang memiliki kompetensi untuk itu dalam menemukan suatu kebenaran dari sumbernya dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Khususnya dalam bidang fikih, ijtihad diartikan sebagai usaha pikiran secara optimal dari ahlinya, baik dalam menyimpulkan hukum fikih dari al-Quran dan Sunnah maupun dalam penerapannya. Dari definisi tersebut terlihat bahwa dalam lapangan fikih terdapat dua bentuk ijtihad, yaitu ijtihad untuk menyimpulkan hukum dari sumbernya dan ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad dalam bentuk pertama disebut ijtihad istinbathi, sedangkan dalam bentuk kedua disebut ijtihad tathbiqi. Lapangan ijtihad istinbathi adalah al-Quran dan Sunnah yang dijadikan sumber oleh para hakim dan juris Islam lainnya dalam membuat rumusan hukum. Pada periode awal Islam ijtihad seperti ini diperlukan, disamping ijtihad tathbiqi, dan merupakan persyaratan bagi seseorang yang akan diangkat menjadi hakim. Dalam era modern, bahkan post-modern ini, ijtihad istinbathi tidak banyak terkait dengan tugas para hakim. Hal ini disebabkan karena aturan-aturan hukum telah terkodifikasi secara baik dalam kitab-kitab fikih dan kompilasi hukum Islam, seperti kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Meski demikian, hal tersebut tidak menafikan pentingnya kapasitas dan kapabilitas intelektuan seorang hakim. Kemampuan intelektual seorang hakim untuk masa sekarang lebih banyak tercurah pada ijtihad tathbiqi. Lapangan ijtihad ini adalah tempat penerapan hukum, yaitu manusia dengan segala ihwalnya yang selalu berubah dan berkembang. Seiring dengan perkembangan manusia, ijtihad tathbiqi tidak pernah terputus selama umat Islam bertekad untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Untuk itu ijtihad tathbiqi berkaitan erat dengan tugas para hakim, karena peran hakim sebagai penegak hukum tidak cukup hanya dengan penguasaan (materi) hukum belaka, tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menerapkannya secara benar dan proporsional.

  1. Metode ijtihad hakim agama dalam konteks UU
Di samping Peraturan perundang-undangan yang memiliki kelebihan dan kebaikan, akan tetapi peraturan perundang-undangan juga mempunyai kelemahan atau kekurangan antara lain:
Sebagai buatan manusia,peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap.Deskripsi-deskripsi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan pada umumnya pada umumnya mencerminkan keadaan,pandangan, keinginan pada saat pembuatanya. Sebagai bentuk hokum tertulis, peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Kadang-kadang rumusam peraturan perundang-undangan tidak jelas.
Hal-hal di atas merupakn tangtangan bagi hakim agama yang di satu pihak harus menerapkan peraturan perundang-undangan, akan tetapi di pihak lain kalau penerapan tersebut tidak sesuai dengan fakta, keadaan bahkan tujuan hokum maka akan menimbulkan ketidak pastian dan ketidakadilan. Untuk memungkinkan peraturan perundang-undangan terterap sebagai mana mestinya,hamper swluruh hakim harus melakukan penafsiaran dan berijtuhad.
Terdapat berbagai cara atau metode metode yang harus di gunakan hakim agama dalam berijtihad atau melakukan penafsiran:
                                                                                                                                                                                                                                                 Penafsiran otentik atau penafsiran resmi
                                                                                                                         penafsiran yang di buat oleh pembentuk peraturan perundang-undangan yang di lengkapi penafsiran resmi, yatu UU dan peraturan pemerintah.karena merupakan maksud dan kehendak pembuat Undang-undang, ada pendapat yang menyataakan bahwa penafsiran resmi menempati urutan yang pertama dalam metode penafsiran.sudah sewajarnya hakim harus pertama-tama harus melihat kehendak, maksud, dan arti yang di berikan pembuat peraturan perundang-undangan
                                                                                                                         Penafsiran Gramatika (tata bahasa)
 yaitu penafsiran yang menggunakan ilmu tata bahasa sebagai cara untuk menemukan arti,kehendak dan maksud suatu peraturan perundang-undangan. Tata bahasa disini baik dalam ilmu kata-kata maupun kalimat. Bahasa sebagai mana kehidupan bersifat dinamis barubah dari waktu ke waktu arti kata dapat berubah sesuai dengan keadaan                                                                                               Penafsiran menurut sejarah(historis)
yaitu penafsiran historis erat kaitannya dengan penafsiran otentik. Persamaanya, penafsiran tersebuat sama-sama menengok ke belakang yaitu saat peraturan perundang-undangan terbentuk. Perbedaanya adalah penafsiran otentik hanya terbatas pada pengertian, maksud dan kehendak yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan penafsiran historis melihat juga latar belakang pandangan-pandangan yang di sampaikan pada saat pembuatan peraturan perundang-undangan
Penafsiran sosiologis
                                                                                                                        yaitu penafsiran yang berangkat dari pemikiran bahwa peraturan perundang-undangan tidak di maksudkan untuk mengatur masa lampau. peraturan perundang-undangan di buat untuk mengatur dan memecahkan masalah hokum di masa yang akan datang. Karena itu peraturan perundang-undangan harus di artikan sesuai dengan kebutuhan dan perubahan-perubahan social,ekonomi,budaya maupun politik.kenyataan yang hidup dalam masyarakat merupakan sumber penafsiran social 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar